Selasa, 19 Juli 2016 | By: Imam

Makalah Ushul Fiqh (Qiyas)



BAB I
PENDAHULUAN
A.                A.        Latar Belakang
Dalam menghadapi satu konteks permasalahan yang membutuhkan status hukum, pertama-tama para fuqaha (yurispunden Islam) akan melacak secara langsung nash (teks) dalam al Qur`an maupun as Sunnah, yang keduanya merupakan rujukan utama dalam hukum – hukum Islam. Apabila mereka tidak menemukan penjelasan detail berkenaan dengan konteks yang sedang dihadapi, maka langkah berikutnya adalah mengembalikan pada dalil al `Ijma (konsesus ulama dalam suatu hukum), kalapun dalam fase ini masih belum ditemukan status hukumnya, maka mereka akan beralih ke dalil al Qiyas (Analogi).
Proses analogi ini akan berusaha mencari persepadanan kasus yang telah ada hukumnya, untuk kemudian hukumnya diaplikasikan pada kasus yang sedang dihadapi. Biasanya yang menjadi titik perhatian dalam ber-analogi adalah mencari point persamaan dalam illat (sebab) yang merupakan substansi permasalahan. 
B.                 Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Qiyas ?
2.      Apa sajakah rukun Qiyas ?
3.      Apa sajakah macam-macam Qiyas ?
4.      Bagaimana Kehujjahan Qiyas ?
C.                Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Pengertian Qiyas
2.      Mengetahui Rukun Qiyas
3.      Mengetahui Macam-macam Qiyas
4.      Mengetahui Kehujjahan Qiyas

BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
1.        Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2.        Qadhi Abu Bakar
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.      Ibnu Subki
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4.       Abu Zahrah
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.      Ibnu Qudamah
Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.      Ibnu al-Hummam
“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’  hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.       Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.       Al-Human
“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”

B.        Rukun Qiyas
1.        Ashl (pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a)      Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b)      Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
c)      Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
d)     Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas menunjukkan hukum.
2.        Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis, atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a)      Harus berupa hukum syara’ yang amaliah.
b)      Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali  pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
c)      Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na)
d)     Hukum rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
e)      Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak berlaku hukum qiyas.
3.        Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
a)      Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya.
b)      ‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illathukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.
4.         ‘Illat
‘Illatadalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
a)      Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka mengatakan :”sesungguhnya sumber hukum asal adalah  ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b)      Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c)      Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illathukum.
·      Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
1)      ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
2)      ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
3)      Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
4)      Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian  melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
5)      Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.

C.        Macam-macam Qiyas
·         Ditilik dari segi kekuatan  illat yang terdapat pada furu’ dibanding dengan yang terdapat pada ashl, qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1.      Qiyas al-Aulawi : yaitu suatu illat hukum yang diberikan pada ashl lebih kuat diberikan pada furu' seperti yang terdapat pada QS.S.Al isro’ ayat 23:  yaitu: memukul orang tua diqiyaskan dengan menyakiti hati orang tua.
2.      Qiyas al-Musawi : Suatu qiyas yang illatnya yang mewajibkan hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang keduanya bersamaan dalam keputusan menerima hukum  tersebut. Contoh: menjual harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
3.      Qiyas al-Adna : Mengqiyaskan sesuatu yang kurang kuat menerima hukum yang diberikan pada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu. Contoh: mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan riba fadhl.
·         Dilihat dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1.      Qiyas al-Jaly :  Qiyas yang  illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu'”. Contoh: mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki. Qiyas jaly dibagi lagi menjadi 3 macam: Qiyas yang illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah illat larangan meminum khamar yang sudah ada nashnya. Qiyas aulawi dan qiyas musawi.
2.      Qiyas al-Khafy : Qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash. Contoh: mengqiyaskan pembunuhan menggunakan bahan berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.
·         Di lihat dari segi persamaan cabang kepada pokok dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1.      Qiyas Ma’na :  ialah qiyas yang cabangnya hanya disandarkan kepada pokok yang satu. Hal ini di karenakan makna dan tujuan hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum pokoknya, oleh karena itu korelasi antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua kepada perkataan ah seperti yang telah dijelasnkan sebelumnya.
2.       Qiyas Sibhi :  ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat  pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.


D.        Kehujjahan Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diper oleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah.
Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan wajib memakai qiyas.
Ulama Syi’ah Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan karena mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal Mereka mengambil dalil : Q.S. Al Hujurat : 1
يأيها الذين أمنوا لاتقدموا بين يدي الله ورسول الله واتقوا الله…..
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertaqwalah kapada Allah.” (Q.S. Al-Hujurat : 1)
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Qur’an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa' : 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas
. 2).Firman Allah SWT Q.S.Al Hasr : 2    فاعتبروايااولى الأبصار
Artinya: Maka ambil (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (Q.S. Al-Hasr : 2)
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintaha (khalifah).
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.

BAB III
PENUTUP
A.          Simpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yangn lain yang terdapat nash baginya.
 Meskipun banyak yang berbeda pendapat, meyoritas jumhur ulama mengatakan bahwa qiyas merupakan hujjah (sumber hukum  islam) yang ke empat setelah al-Qur’an, hadist, dan ijma’. Bahkan Imam Syafi’I telah menhatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.


DAFTAR PUSTAKA

Bakry,Nazar . Fiqih dan Ushul Fiqih. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). 1994.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia). 1998.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu). 1997
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang). 1978
Uman, Chaerul dkk. Ushul Fiqih 1.(Bandung: Pustaka setia). 2000

0 komentar:

Posting Komentar