BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep fitrah
pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta didik)
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan sesat fujur. Bila manusia berjalan lurus sesuai
fitrahnya, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak selaras dengan
fitrahnya, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur).
Diakui bahwa nilai-nilai
aktualisasi fungsi konsep fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan; dimana
secara epistemologi pendidikan berwujud mewujudkan peserta didik yang memiliki
potensi kepribadian muslim yang berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah
manusia tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam
penyusunan makalah
ini adalah:
1. Apa pengertian
fitrah?
2. Bagaimana konsep fitrah manusia menurut tafsir Al-Qur’an Surat
Ar-Rum ayat 30?
3. Bagaimana hubungan fitrah manusia dengan pendidikan Islam dan godaan?
1.3. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah:
1. Mengetahui
pengertian fitrah.
2. Mengetahui konsep fitrah manusia menurut tafsir Al-Qur’an Surat
Ar-Rum ayat 30.
3. Mengetahui hubungan fitrah manusia dengan pendidikan Islam dan godaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Fitrah
Secara lughatan (etimologi) fitrah berasal dari
kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra
yang berarti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja
yang berarti menjadikan. Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara
etimologis berasal dari kata fathara
yang sepadan dengan kata khalaqa dan
anyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara,
khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian
mencipta, menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola
dasar yang perlu penyempurnaan.
Dalam Kamus al-Munjid
diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al shifat allati yattashifu biha
kullu maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lainnya adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain
daripada itu ada yang bermakna al dinu wa
al sunnah.
Menurut
Abudurrahman Saleh Abdullah (2007) Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata
fathara yang berarti “menjadikan”. Kata tersebut berasal dari akar kata
al-fathr yang berarti “belahan atau pecahan”. Fitrah
mengandung arti “yang mula-mula diciptakan Allah”, “keadaan yang mula-mula”,
“yang asal”, atau “yang awal”.[1]
Muhammad bin Asyur—dalam M Arifin
(2003)— mendefinisikan fitrah sebagai berikut:
اَلْفِطْرَةُ هِيَ النِّظَامُ الَّذِي
أَوْجَدَهُ اللهُ فِى كُلِّ مَخْلُوْقٍ، وَاْلفِطْرَةُ الَّتِيْ تَخُصُّ نَوْعَ
اْلإِنْسَانِ هِيَ مَا خَلَقَهُ اللهُ عَلَيْهِ
جَسَدًا أَوْ عَقْلاً
“Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain
dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang
berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang
berkaitan dengan kemampuan akal dan jasmaninya”.[2]
Dalam batasan ini fitrah diartikan
sebagai potensi jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan
potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh
Allah kepadanya.[3]
Berdasarkan uraian di atas penulis dapat
menyimpulkan bahwa fitrah
manusia adalah semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan
oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna
kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah Swt .
2.2. Tafsir Al-Qur’an
Surat ar-Rum ayat 30
2.2.1. Ayat dan
Terjemahannya
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ
حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ
لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدَّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لاَيَعْلَمُوْنَ
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah), (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rum:
30).
2.2.2. Tafsir Ayat
Allah Swt.
berfirman: Fa aqim wajhaka li ad-dîn hanîfâ (Hadapkanlah
wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid,
Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan
az-Zuhayli, kata ad-dîn bermakna dîn al-Islâm. Penafsiran
ini sangat tepat, karena khithâb ayat ini ditujukan kepada
Rasulullah saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.
Adapun hanîf, artinya
cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanîf
tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata
ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh;
bisa pula merupakan hâl bagi kata ad-dîn. Dengan
demikian, menurut as-Suyuti, perintah itu mengharuskan untuk
menghadapkan wajah pada dîn al-Islâm dengan pandangan lurus;
tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama lain
yang batil dan menyimpang.[4] Perintah ini
merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini,
istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman: fithrah Allâh al-latî fathara an-nâs
‘alayhâ (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu). Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri,
pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan
Allah Swt. pada manusia.
Menurut
sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan
kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia
diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga
manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.
Sebagian
mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan
Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan
Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Telah ditegaskan bahwa jin
dan manusia diciptakan Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat
56). Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.
Harus diingat,
kata fithrah Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek)
dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi, yakni ilzamû (tetaplah)
atau ittabi‘û (ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan
untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan
tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Allah atau
kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid
atau dîn al-Islâm itu sendiri. Frasa ini memperkuat perintah
untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama
batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn
al-Islâm, dîn al-haq, yang diciptakan Allah Swt. untuk
manusia. Ini sama seperti firman-Nya (yang artinya): Tetaplah kamu pada
jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang
telah taubat beserta kamu. (QS. Hud :112).[5]
Allah Swt.
berfirman: Lâ tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas
fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha'i, Said bin Jubair,
Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh maksudnya adalah li
dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah.
Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh,
maka kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn
Allâh.
Allah Swt.
memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia.
Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah
agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena itu, menurut
sebagian mufasir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita
yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî (tuntutan
untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan: Janganlah
kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan; janganlah mengubah
fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah
pada agama fitrah, yakni agama Islam.
Allah Swt.
menutup ayat ini dengan firman-Nya: Dzâlika ad-dîn al-qayyim walâkinna
aktsara an-nâs lâ ya‘lamûn (Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan
bentuk mubâlaghah dari kata al-qiyâm (lurus).
Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang
teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada
kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya.[6]
Seharusnya
tidak ada keberatan sama sekali bagi manusia untuk memeluk Islam. Sebaliknya, dia
akan merasa berat dan susah ketika harus keluar dari Islam. Pasalnya, memeluk
Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara tersirat, ayat ini
menegaskan akan realitas tersebut. Para mufasir menafsirkan kata fithrah
Allâh dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam
itu sendiri.
Pertama:
adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri setiap
manusia sehingga ia bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia membutuhkan
Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan.
Karenanya, manusia membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan
(‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.
Kedua: dengan akal
yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia, ia mampu memastikan adanya Allah, Pencipta alam
semesta. Sebab, keberadaan alam semesta yang lemah, terbatas, serba kurang, dan
saling membutuhkan pasti merupakan makhluk. Hal itu memastikan adanya al-Khâliq yang
menciptakannya. Dengan demikian, kebutuhan manusia pada agama, selain didorong
oleh gharîzah at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.
Lebih
jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih akidah dan agama yang benar.
Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan dibantah oleh akal manusia.
Sebaliknya, argumentasi akidah yang haq pasti tak terbantahkan sehingga
memuaskan akal manusia.
Oleh
karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan agama yang haq, agama
yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal. Islamlah satu-satunya
yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama manusia dengan benar
sehingga menenteramkannya. Islam juga memuaskan akalnya dengan
argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan. Dengan
demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia. Karena
begitu sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, “Seandainya
seseorang meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam
sebagai agamanya.”
Sesungguhnya
bagi manusia, menolak Islam jauh lebih sulit dan berat ketimbang menerimanya.
Sebab, apa pun atau siapa pun lebih mudah memelihara tabiat asli dan jati dirinya
daripada harus mengubahnya.[7]
2.3. Hubungan
Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam dan Godaan
2.3.1. Hubungan
Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam
Manusia dalam pandangan Islam adalah
khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Allah, dia memiliki karakteristik
yang multidimensi, yakni pertama,
diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas
ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi. Kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Allah yang
lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang
diberikan Tuhan kepadanya. Ketiga,
dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di planet ini, yaitu
mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah.
Potensi akal
secara fitrah mendorong manusia memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak,
menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih
maupun memisahkan yang benar dan salah. Di samping itu, akal dapat mendorong manusia berkreasi
dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan
kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah
serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman
dan nyaman.
Sebelum terlalu
jauh kita mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan
pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari
pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu
sendiri adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai
ideal yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia.
Sementara Achmadi meletakkan keterangan tujuan pendidikan Islam dalam “tiga
karakteristik” yakni tujuan tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus. Tujuan
tertinggi adalah bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai
dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan
tertinggi (akhir) ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan
peranannya sebagai ciptaan Allah. Salah satu prilaku itu identitas islami itu
sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari
atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak
yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda
substansinya dengan tujuan pertama yang cenderung mengarah kepada nilai
filosofis. Tujuan ini lebih bersifat empirik dan realistik. Ahmad tafsir—dalam
Badri Khaeruman (2004)—mengemukakan tujuan umum bersifat tetap, berlaku di
sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang
taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku
dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai
sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self realization). Sementara
tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan
tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat
relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan
tertinggi (akhir) dan umum itu.[8]
Pengkhususan tujuan pendidikan Islam
tersebut menurut Achmadi—dalam Badri Khaeruman (2004)—didasarkan pada: kultur
dan cita-cita suatu bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat,
dan kesanggupan subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu
tertentu.[9]
Konsep fitrah
dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan
perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah seseorang mengalami
proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda
(indikator) orang yang beriman dan bertaqwa.
Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah
dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep
pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari
hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur’an maupun hadits baik dari segi
sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia agar
bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. Inilah yang disebut secara implikasi konsep fitrah
kecenderungan peserta didik pada yang benar, yang secara pendekatan ilmiah memiliki
kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang pendidikan bila diberikan
pengertian dari al-Qur’an maka kalangan pemikir pendidikan Islam meletakkan
pada tiga karakteristik di antaranya rabb,
ta’lim, dan ta’dib.
2.3.2. Hubungan
Fitrah Manusia dengan Godaan
Kesesuaian
fitrah manusia dengan Islam juga dijelaskan dalam dalil-dalil naqli. Allah Swt.
berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْ
آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا.
“Ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
(QS. al-A‘raf : 172).
Allah Swt. juga
berfirman di dalam hadis qudsi:
«وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ
كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ»
“Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif
(lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu
membelokkan mereka dari agama mereka.” (HR Muslim).
Rasulullah Saw.
juga bersabda:
«مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ»
“Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian
kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR . Bukhari).[10]
Kedua hadits di
atas menjelaskan tentang kondisi awal setiap manusia. Dalam hadits pertama
disebutkan, setiap manusia diciptakan dalam keadaan hanîf, yakni
lurus dan tidak condong pada kesesatan. Adapun dalam hadits kedua dinyatakan,
setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun fitrah yang dimaksudkan di
sini adalah pengakuan terhadap Allah Swt.
Hadits pertama
di atas menjelaskan, penyimpangan manusia dari fitrahnya disebabkan oleh bujuk
rayu setan. Hadits kedua menjelaskan, pendidikan yang salah dari orangtua atau
institusi pendidikan merekalah yang menjadi faktor penyebab keluarnya manusia
dari fitrahnya. Namun demikian, faktor dalam diri manusia juga turut
menjadi penyebabnya.
Bertolak dari
paparan di atas, orang yang menolak Islam benar-benar sangat keterlaluan.
Pantaslah jika mereka mendapatkan siksa yang amat berat dari Allah Swt.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Secara umum
dapat dijelaskan, konsep fitrah manusia dalam Al-Qur’an memiliki hubungan yang
kuat dengan pendidikan Islam. Konsep fitrah menggariskan bahwa secara alamiah
manusia itu positif (fitrah), baik secara fisik dan jiwa (kognitif dan afektif)
maupun ruhani (spiritual).
Selebihnya,
diakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia selain jasad dan akalnya adalah
qalbu. Perilaku manusia bergantung
pada qalbu-nya. Dengan qalbu-nya manusia dapat mengetahui
sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah
(termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi
benda dan peristiwa di sekitarnya
3.2. Saran
Pemabahasan ini hanyalah pemantik
awal, selanjutnya diperlukan pembahasan lebih mendalam terutama dengan
ditunjang referensi yang memadai. Semoga pembaca semakin tertarik untuk
mendalami pembahasan ini, sehingga pembahasan semakin sempurna dan layak menjadi
sumber tembahan dalam mendalami pembahasan ini pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2007. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan
Al Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arifin, M. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Kitab
As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr
fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, V/298-299, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.
1990.
Al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, XI/40, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994.
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, III/533, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997.
al-Baghawi, Ma’âlim aT-Tanzîl, III/415, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
Azl-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463;
an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, II/308.
Az-Zuhayli, at-Tafsîr
al-Munîr, XXI/81.
Jamal al-Din al-Jauzi, Zâd
al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463
Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât
al-Ilâhiyyah, VI/102
Online
0 komentar:
Posting Komentar