BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
selalu berhubungan dengan terwujudnya keserasian hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semakin tinggi
keserasian hubungan tersebut, maka semakin dekat pula terwujudnya tujuan
pendidikan nasional yakni : “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Untuk
mewujudkan tujuan pendidikan tersebut maka peran pendidikan sangat menentukan,
terutama dalam pembentukan sikap mental yang positif sangat dibutuhkan dalam
rangka proses alih generasi.
Dalam
pandangan Ali Ashaf yang menguntip dalam lampiran dari Rekomendasi Umum
Konferensi Pendidikan Muslim Pertama menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
: Mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang
melalui jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena
itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya :
spiritual, intelektual, fisik ilmiah, bahasa baik secara individual maupun
kolektif, dan mendorong semua aspek ini kearah kebaikan dan mencapai
kesempurnaan
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah :
a.
Apa Tujuan Pendidikan Berdasarkan Q.S. Al-Fath ayat 29 ?
b.
Apa Tujuan Pendidikan Berdasarkan Q.S. An-Nisa ayat 9 ?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai
berikut :
a.
Mengetahui Tujuan Pendidikan berdasarkan Q.S. Al-Fath ayat
29
b.
Mengetahui Tujuan Pendidikan berdasarkan Q.S. An-Nisa ayat 9
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tujuan Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an Surah Al-Fath : 29
2.1.1.
Al-Qur’an Surah Al-Fath : 29 dan Terjemahnya
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi
berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam lnjil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan orang-orang mu’min). Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan menegakan amal yang saleh di
antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
2.1.2. Tafsir Q.S. Al-Fath : 29
Menurut al-Hâkim dan
lain-lain dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwân bin al-Hakam, surat
al-Fath ini mulai dari awal hingga akhir diturunkan antara Makkah dan Madinah
dalam konteks perjanjian damai Hudaibiyyah. Perjanjian ini kelak mengantarkan
penaklukan kota Makkah dan tampilnya negara Islam sebagai adidaya baru di
Jazirah Arab.
Agar dapat dipahami konteksnya, ayat
ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya, yang dalam istilah ‘Ulûm
al-Qur’ân disebut Munâsabât bayn al-âyah, yaitu ayat 28 yang
Artinya :
“Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa
kebenaran dan agama yang haq untuk memenangkannya atas agama-agama yang ada
seluruhnya. Cukuplah Allah sebagai saksinya.” (Q.S. Al-Fath : 28).
Dari sinilah frasa Muhammad[un]
Rasûlullâh (Muhammad Rasulullah) dapat dipahami kedudukannya sebagai
kalimat penjelas (jumlah mubayyinah) terhadap Rasul yang diutus oleh
Allah dengan membawa hidayah dan agama yang haqq. Mengenai kata Muhammad[un]
dalam ayat di atas, sebagian ulama tafsir mempunyai dua pandangan. Ada yang
menyatakannya sebagai subyek (mubtada’), dengan kata Rasûlullâh
merupakan predikat (khabar), ada juga yang menyatakan, bahwa kata Muhammad[un]
adalah subyek (mubtada’), Rasûlullâh adalah sifat subyek,
sedangkan predikatnya adalah asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika kita memilih
pendapat yang pertama, konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah.
Sebaliknya, jika pendapat kedua yang dipilih, konotasinya: Muhammad,
Rasulullah.
Sementara itu, frasa walladzîna
ma‘ah[u] (dan orang-orang yang bersamanya), dengan diawali huruf waw di
depannya, ada yang menyatakan sebagai subyek kedua setelah subyek pertama,
yaitu: Muhammad[un]; kemudian frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr—menurut
pendapat ini—kedudukannya sebagai predikat kedua setelah predikat pertama,
yakni kata Rasûlullâh. Namun, ada juga yang menyatakan, bahwa frasa walladzîna
ma’ah[u] adalah ma‘thûf ‘alayh (frasa yang dihubungkan) dengan Muhammad[un]
sehingga subyek dan predikatnya hanya satu, masing-masing adalah Muhammad[un]
dan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika dipilih alternatif pertama,
konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya
(sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat
mencintai sesama mereka. Jika pilihan kedua yang diambil, konotasinya: Muhammad,
utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang
sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka.
Inilah hasil pembacaan terhadap
struktur lafal yang berbeda dan implikasinya terhadap makna yang terdapat dalam
ayat tersebut. Hanya saja, perbedaan tersebut tidak membawa implikasi yang
serius terhadap makna ayat di atas secara keseluruhan. Di sisi lain, as-Suyûthi,
menjelaskan bahwa dinyatakannya: asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras terhadap
orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama
mereka), menunjukkan keunikan sifat Rasulullah dan para sahabat, yang memadukan
ketegasan dan kekerasan (terhadap orang kafir) dengan kasih-sayang (terhadap
sesama Muslim).
Seandainya hanya dinyatakan asyiddâ’
‘alâ al-kuffâr (keras terhadap orang-orang kafir), tentu akan menimbulkan
persepsi, seakan-akan mereka adalah orang-orang yang kasar. Karena itu, dengan
dinyatakan, ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), kesan
tersebut hilang.
Dari pembahasan diatas dapat kita
ketahui makna yang terkandung dari ayat diatas sebagai berikut:
1. Mewujudkan rasa hormat dan rasa
kasih sayang sesama manusia.
2. Mewujudkan seorang hamba yang ahli
sujud dan taubat.
3. Mewujudkan manusia yang selalu
menyenangkan orang lain.
2.2.
Tujuan
Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an Surah An-Nisa : 9
2.2.1. Al-Qur’an Surah An-Nisa : 9 dan
Terjemahnya
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
2.2.2.
Asbabunnuzul
Q.S. An-Nisa : 9
Allah
SWT. berfirman dalam ayat ini hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak dan ahli waris yang lemah,
janganlah sampai membuat wasiat yang akan membawa mudharat da mengganggu
kesejahteraan mereka yang ditinggalkan itu. Berkata Ibnu Abbas menurut Ali bin
Abi Thalhah bahwa ini mengenai seorang yang sudah mendekati ajalnya yang
didengar oleh orang lain bahwa ia hendak membuat wasiat yang bermudharat dan
akan merugikan ahli warisnya, maka Allah memerintahkan kepada yang mendengarnya
itu agar menunjukkannya kepada jalan yang benar dan agar diperintahkansupaya ia
bertakwa kepada Allah mengenai ahli waris yang akan ditinggalkan.
Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim bahwa tatkala Rasulullah SAW datang menjenguk Saad
bin Abi Waqqash yang sedang sakit, bertanyalah Saad kepadanya: “Ya Rasulullah,
saya mempunyai harta dan hanya putriku satu-satunya yang akan mewarisiku,
dapatkah kusedekahkan dua pertiga kekayaanku?”
Jawab Rasulullah, “Jangan.”
Dan kalau separuh, bagaimana? tanya
Saad lagi.
“Jangan.”Jawab Rasulullah.
Dan kalau sepertiganya, bagaimana ya
Rasulullah?” tanya Saad lagi.
Rasulullah menjawab, “Sepertiga pun
masih banyak, kemudian Beliau bersabda:
اِنَّكَ اَنْ تَذَرَوَرَثَتَكَ اَغْنِيَاءَخَيْرٌمِنْ اَنْ
تَذَرَهُمْ عَا لَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
“Sesunggunya lebih
baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya daripada meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin yang meminta-minta”.
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas berkata, “Sepatutnya orang turun dari sepertiga ke seperempat
(mengenai wasiat), karena Rasulullah telah bersabda bahwa sepertiga pun
banyak”.
Berkata
para ulama ahli Fiqh: “Jika ahli waris yang ditinggalkan oleh si mayat adalah
orang-orang kaya, maka sebaiknya diwasiatkan penuh sepertiga, tetapi jika yang
akan ditinggalkan itu orang-orang miskin, maka sebaiknya dikurangi dari
sepertiga
2.2.3. Tafsir Q.S. An-Nisa : 9
Taraku,
artinya mereka hampir saja
meninggalkan.
Min
Khalfihim, artinya
sesudah mereka meninggal dunia.
Khafu
‘Alaihim, artinya
mereka khawatir anak-anaknya menjadi terlantar tersia-sia hidupnya.
Pembicaraan
dalam ayat ini masih berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati,
yaitu mereka yang dititipi anak-anak yatim. Juga, tentang perintah tehadap
mereka agar memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara berbicara
kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus,
baik, dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan anakku, sayangku, dan
sebagainya.
Dalam
ayat ini yang diingatkan adalah kepada mereka yang berada di sekeliling para
pemilik harta yang sedang menderita sakit. Mereka seringkali memberi aneka
nasehat kepada pemilik harta yang sakit itu, agar yang sakit itu mewasiatkan
kepada orang-orang tertentu sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya,
sehingga akhirnya anak-anaknya sendiri terbengkalai. Kepada mereka itu ayat 9
diatas berpesan: Dan hendaklah orang-orang yang memberi aneka nasehat
kepada pemilik harta agar membagikan hartanya kepada orang lain sehingga
anak-anaknya sendiri terbengkalai, hendaklah mereka membanyangkan seandainya
mereka akan meninggalkan di belakang mereka, yakni setelah kematian
mereka, anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki harta,
yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka atau penganiayaan atas
mereka, yakni anak-anak yang lemah itu. Jika keadaan serupa mereka alami,
apakah mereka akan menerima nasehat-nasehat seperti yang merekaberikan itu?
Tentu saja tidak! Kerena itu, hendaklah mereka takut kepeda Allah SWT., atau
keadaan anak-anak mereka di masa depan. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah SWT. Dengan mengindahkan sekuat kemampuan seluruh
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar lagi tepat.
Muhammad
Sayyid Tanthawi berpendapat bahwa ayat di atas ditujukan kepada semua
pihak, siapapun, karena semua diperintahkan untuk berlaku adil, berucap yang
benar dan tepat, dan semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan di atas.
Kandungan
Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan
generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan
potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang.
Jadi,
Allah SWT. memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir
hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau
keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka dikemudian
hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung
jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada Surat Al Fath ayat 29 ini mengandung perintah
untuk mewujudkan rasa hormat dan rasa kasih sayang sesama manusia, menunjukkan
bahwa seorang hamba haruslah selalu sujud dan taubat kepada Allah Swt, serta
mengingatkan kepada manusia untuk selalu menyenangkan orang lain.
Surat an-Nisa’
ayat 9 ini menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi
kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak, akibat kekurangan makanan yang
bergizi; merupakan tanggungjawab kedua orang tuanya, maka disinilah hukum Islam
memberikan solusi dan kemurahan. yang mana
untuk membantu orang-orang yang tidak menyanggupi hal-hal tersebut, agar tidak
berdosa dikemudian hari, yakni apabila orang tua itu meninggalkan keturunannya,
atau menelantarkannya, akibat desakan-desakan yang menimbulkan kekhawatiran
mereka terhadap kesejahteraannya.
Al Qur’an Surat
An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan generasi penerus
yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai
bekal kehidupan dimasa mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Soenarjo.
2003. Al Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta : Departemen Agama RI.
M.
Quraish Shihab. 2002. Tafsir Al – Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al – Qur’an,
Jakarta : Lentera Hati.
Al-Maraghi,
Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi.
1993. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Al-Syeikh,
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq. Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. 2003. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
0 komentar:
Posting Komentar