BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
seminar yang diadakan oleh Asian Development Bank (ADB) di Fukuoka Jepang pada
tanggal 10 Mei 1997 didapat sebuah kesimpulan, pengalaman negara-negara di Asia
Timur memperlihatkan bahwa pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean
government) merupakan faktor penting dalam sebuah proses pembangunan (ADB,
1997). Pertemuan ini juga menyepakati empat elemen penting dari pemerintahan
yang baik dan bersih yaitu (1) accountability, (2) transparancy, (3)
predictability, dan (4) participation.Kesimpulan ini tidak dapat dilepaskan
dari adanya kesadaran bahwa tanpa keinginan mewujudkan pemerintahan yang baik
dan bersih tidak mungkin melakukan pembangunan dengan baik.
Pengabaian terhadap
good governance telah menjadi penyebab terhadap krisis keuangan yang terjadi di
kawasan Asia.Krisis ini meluas menjadi ekonomi, sosial dan politik.Bahkan
kemudian meruyak kepada krisis kepercayaan publik yang amat parah.Menurut
Wanandi (1998) krisis ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintah yang tidak
berdasarkan hukum, kebijakan publik yang tidak transparan serta absennya
akuntabilitas publik akhirnya menghambat pengembangan demokrasi dalam
masyarakat.
Walaupun kesadaran
ini muncul relatif terlambat tetapi harus disikapi secara benar dan serius
dalam menyongsong pembangunan masa depan terutama pada negara-negara yang telah
menjadi korban multi-krisis yang terjadi dalam tiga tahun terakhir. Khusus bagi
Indonesia, ini menjadi lebih bermakna karena perubahan paradigma ini juga
seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pelaksanaan pemerintahan terutama
dalam menyikapi pelaksanaan otonomi daerah yang sudah di depan mata.
Pengertian Dasar
Good and Clean Governance
Paling
tidak ada empat kata yang harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan good
and clean governance, yaitu (1) good government, (2) clean government, (3) good
governance, dan (4) clean governance. Dari empat pembagian tersebut dilihat
bahwa yang menjadi perhatian adalah good (baik), clean (bersih), government
(pemerintahan), dan governance (penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma
yang hendak dikembangkan adalah pemerintahan yang baik dan bersih yang juga
didukung oleh penyelenggara pemerintahan yang baik dan bersih.Dengan demikian
government lebih memberikan perhatian terhadap sistem, sedangkan governance
lebih memberikan perhatian terhadap sumber daya manusia yang bekerja dalam
sistem tersebut. Tanpa menjaga keseimbangan terhadap dua hal ini akan muncul
ketimpangan dalam praktek peyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya akan menimbulkan
kehancuran terhadap sistem bernegara.
Tanpa membedakan
secara tajam antara empat elemen penting tersebut, Wanandi (1998) memberikan
pengertian sebagai berikut :
“kekuasaan didasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, segala kebijakan diambil secara transparan,
serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Kekuasaan juga harus
didasarkan atas aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau
kelompok tertentu.Kekuasaan juga harus taat kepada prinsip bahwa semua warga
negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum”.
Sementara itu,
Riswanda Imawan (2000) berpendapat bahwa clean government adalah satu bentuk
atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi
yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya abuse of power. Untuk
itu diperlukan (1) pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak, (2)
struktur organisasi pemerintah yang tidak kompleks (lebih sederhana), (3)
mekanisme politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga
negara, dan (4) mekanisme saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra
maupun supra struktur politik.
Pengertian ini
muncul karena dua thesis, pertama, kurangnya perhatian terhadap pemerintahan
yang baik dan bersih telah mendorong terciptanya praktik monopoli, korupsi,
kolusi dan nepotisme. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih
merupakan bahagian yang sangat penting dari sebuah proses demokrasi. Karena hal
ini menjadi syarat mutlak bagi pembangunan yang menyeluruh dan berimbang.
Banyak pendapat yang
mengatakan bahwa pembahasan mengenai good and clean governance baru dimulai
pada tahun-tahun terakhir (Sukardi: 2000). Kalau hal ini dilihat dari
kecenderungan hari ini, pendapat ini ada benarnya.Tapi kalau dilihat dari
perkembangan peraturan perundang-undangan, pembicaraan ke arah pemerintahan
yang baik dan benar sudah dimulai seiring dengan kuatnya keinginan untuk
membuat Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Artinya, pembicaraan
good and clean governance, paling tidak, sudah dimulai sejak awal tahun 1970-an
yaitu dengan penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto (1978) yang berjudul
Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara.
Kemudian secara kelembagaan, upaya itu dapat dilihat dari “Proyek Penelitian
tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)” yang dilakukan oleh
Badan Pembinaan dan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989
(Lotulung, 1994). Buku dan hasil penelitian tersebut berhasil menjadi doctrine
penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia.
Meskipun upaya
menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai sejak tahun 1970-an
tetapi tidak mampu membawa perubahan dalam praktek penyelenggaran negara. Hal
ini terjadi karena doctrine AAUPB tidak mempunyai kekuatan hukum yang
memaksa.Oleh karena itu para pelanggarnya tidak dapat dikenakan sanksi hukum.
Keinginan menjadi
good and clean governance ke dalam norma hukum baru dimulai setelah kita
mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan rezim otoriter
Orde Baru pada bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan
MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Kemudian diikuti
dengan pemberlakuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenngaraan Negara yang
Bersih dan (KKN) yang diikuti dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai
pelaksana UU No. 28 yaitu PP No. 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara, PP No. 66/1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, PP No. 67/1999
tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi
Pemeriksa, dan PP No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dalam Peyelenggaraan Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Prinsip-prinsip Pemerintahan yang Baik dan Bersih
Kalau
diperhatikan unsur-unsur yang dihasilkan dalam Annual Meeting ADB di Fokuoka
Jepang tahun 1997, perubahan peranan pemerintah dalam UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 28 tahun 1999 ada beberapa prinsip
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih tersebut :
1.
Akuntabilitas
Menurut
penjelasan Pasal 3 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999 akuntabilitas diartikan sebagai
berikut :
“adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan
negara dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku”.
Dari rumusan
tersebut dapat diketahui bahwa akuntabilitas pertanggungjawaban setiap proses
dan hasil akhir penyelenggaraan negara. Menurut Willian C. Johnson (1998)
pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan dalam berbagai sifat atau
cara.
Pertama, bersifat
internal-formal dilakukan dalam bentuk (1) executive control, (2) budget
preparation and management, (3) rule-making procedures, (4) inspector general
and auditors, (5) chief financial officers, dan (6) investigative
commission.
Kedua, external-formal
dilakukan dalam bentuk (1) legislative oversight, (2) budgetary review and
enactment, (3) legislative rule-making, (4) legislative veto, (5) legislative
investigation, (6) legislative casework, (7) legislative audits, (8)
ratification and appointments, (9) judicial review and takeover, (10)
intergovernmental controls, dan (11) electoral process.
Ketiga,
external-informal dilakukan dalam bentuk (1) monitoring by interest/clientele
groups, (2) professional communities, (3) informational media, dan (4) freedom
of information law. Keempat, internal-informal dilakukan dalam bentuk (1)
professional standars, (2) ethical codes and values, dan (4)
whistle-blowers.
Munculnya beberapa
sifat atau cara dalam melakukan pertanggungjawaban karena ada anggapan bahwa
satu sarana saja dirasakan tidak memadai untuk dapat mengenal secara pasti
kegiatan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Misalnya pendirian
komisi Ombudsman adalah salah satu usaha untuk mewujudkan pertanggungjawaban
pelaksanaan pemerintahan yang bersifat external-informal.
2. Transparans
Menurut
penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 tahun 1999 prinsip transparan diartikan
sebagai berikut :
“Asas yang membuka
diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara”.
Dari pengertian
tersebut terlihat bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang benar dan
jujur tentang penyelenggaraan negara.Ini adalah peran serta masyarakat secara
nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.Secara lebih
jelas peran serta masayarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun 1999. Dalam
Pasal 2 ayat (1) dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan
penyelenggara negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :
a. hak mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;
b. hak memperoleh
pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;
c. hak menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan
negara.
Pengunaan hak dalam
butir a, b dan c tersebut rakyat mendapat perlindungan hukum. Untuk itu semua,
menurut ketentuan Pasal 3 dan 4 dalam mempergunakan hak tersebut rakyat berhak
mempertanyakan langsung kepada instansi terkait atau komisi pemeriksa. Hal itu
dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.Penyampaian itu dapat
dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Kalau dibandingkan dengan negara lain
yang telah lama memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang
baik dan bersih, Indonesia masih agak tertinggal karena pada negara tersebut
akses informasi masyarakat (public access to information) terhadap
penyelenggaraan negara diakui dengan undang-undang atau information act.
Dibandingkan dengan PP, pengaturan dengan UU tentu mempunyai kewibawaan yang
lebih tinggi untuk dipatuhi.
3. Partisipasi
Pengertian
ini tidak ditemui dalam UU No. 28 Tahun 1999, tetapi kalau dipahami misi UU No.
22 Tahun 1999 maka partisipasi masyarakat adalah hal yang hendak diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan agak ringkas Sukardi (2000)
menterjemahkan partisipasi sebagai upaya pembangunan rasa keterlibatan
masyarakat dalam berbagai proses yang dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini
adalah upaya melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Dalam teori pengambilan keputusan semakin banyak partisipasi dalam proses
kelahiran sebuah policy maka dukungan akan semakin luas terhadap kebijaksanaan
tersebut (Dunn, 1997). Bahkan David Osborne dan Ted Gaebler (1996) menyatakan
bahwa pemerintah sebaiknya berperan sebagai katalis. Hal ini dapat dipahami
karena kecenderungan ke depan pemerintah yang mempunyai peranan terbatas dapat
mempercepat pembangunan masyarakat.
4. Kepastian
Hukum
Pengertian
kepastian hukum dapat ditemui dalam Pasal 3 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 yang
menyatakan :
“adalah asas dalam
negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap pelaksanaan penyelenggaraan negara”.
Prinsip keempat ini
mengarahkan agar penyelenggara negara bekerja sesuai dengan ketentuan yang
berlaku (taat asas). Kepatuhan terhadap norma hukum adalah bukti bahwa adanya
keinginan untuk menegakkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara. Adalah
sesuatu yang tidak masuk akal kalau keinginan untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik dan bersih tidak didukung dengan penghormatan terhadap norma hukum
yang telah disepakati sebagai kaedah landasan hukum. Oleh karena itu, kepastian
hukum adalah prinsip yang harus dipelihara.
2.2 Otonomi
Daerah dan Upaya Menciptakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih
Perubahan
paradigma hubungan pusat dan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 adalah
merupakan upaya melakukan reformasi total penyelenggaraan negara di daerah.
Dampak reformasi total ini ditinjau dari segi politik ketatanegaraan
membuktikan telah terjadi pergeseran paradigma dari pemerintahan yang bercorak
highly centralized menjadi pola yang lebih terdesentralisasi dengan memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan otonomi daerah secara lebih luas
sesuai dengan karakter khas yang dimiliki daerah. Hal ini dilakukan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat sesuai dengan potensi
wilayahnya.
Perubahan yang
dilakukan ini adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dalam kehidupan
berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai good
governance atau behoorlijk bestuur (Koswara, 2000).Hal ini sangat diperlukan
karena berkurangnya secara signifikan peranan pemerintah pusat di daerah
terutama dalam melakukan pengawasan preventif.Oleh karena itu, unsur-unsur
pelaksanaan pemerintahan yang baik dan benar dapat memainkan peranan penting di
daerah. Apalagi UU No. 22 Tahun 1999 secara terang mengatakan bahwa aspirasi
rakyat akan menjadi roh pelaksanaan pemerintahan daerah.
Sehubungan dengan
good governance dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga hal penting yang
harus dilakukan di tingkat daerah.Pertama, transparasi kebijakan.Pendapat ini
muncul karena pada era Orde Baru nafas birokrasi sebagai alat kekuasaan yang
represif sangat menonjol.Perumusan kebijakan pembangunan dan pemerintahan yang
cenderung elitis, tertutup, dan berbau nepotis.Oleh karena itu, dalam era
otonomi daerah, kondisi ini diharapkan tidak muncul lagi karena perilaku
penyelenggara negara harus mengedepankan terjadinya transparasi kebijakan
publik (Hadimulyo 2000).
Kedua, partisipasi
masyarakat. Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 memberikan peluang kepada DPRD untuk
melakukan kontrol kepada eksekutif tapi hal itu dirasakan belum cukup karena
adanya indikasi bahwa DPRD dan pihak eksekutif “bermain mata” dalam menyikapi
kebijakan-kebijakan politik yang strategis di daerah. Untuk mencegah ini
diperlukan peranan yang optimal dari masyarakat dalam melakukan kontrol
terhadap pelaksanaan pemerintahan.John Fenwick (1995) mengatakan bahwa dalam
penataan pemerintahan daerah sudah waktunya diperlakukan prinsip the public as
consumers.Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih mengambil posisi sebagai
fasilitator dan advokator kepentingan masyarakat.
Dalam pelaksanaan
otonomi daerah prinsip ini sudah pada tempatnya dilaksanakan di daerah karena
dari dulu masyarakat hanya dilibatkan secara terbatas dalam memanajemen
pemerintahan dan pembangunan.Bahkan dalam waktu yang lama rakyat lebih banyak
dijadikan sebagai objek pembangunan.Peranan masyarakat hanya sebatas retorika,
kepentingan birokrasi lebih menonjol dan birokrasi berubah menjadi
personifikasi sekelompok elit birokrat.
Subari Sukardi
–bekas Walikota Sawahlunto Sumatra Barat— berpendapat ada tiga alasan
meengedepankan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk
mewujudkan good governance. Pertama, kualitas program akan meningkat karena
dengan partisipasi masyarakat yang besar akan memberikan jaminan bahwa tidak
ada kepentingan masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses penentuan
kebijakan pemerintah. Kedua, akan diperoleh legitimasi yang lebih besar karena
dengan partisipasi masyarakat yang lebih besar maka rakyat akan mempunyai
tanggung jawab terhadap kebijakan tersebut. Dan dukungan masyarakat akan
menjadi lebih besar dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan. Ketiga,
partisipasi masyarakat merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan
perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
Yang pasti,
membiasakan diri untuk memberikan akses informasi penyelenggaraan negara
terhadap masyarakat.Kebiasaan instansi pemerintah tertutup terhadap pihak luar
(terutama yang ingin menadapatkan informasi) harus segera
dihilangkan.Ketertutupan ini dapat menimbulkan rasa curiga yang berlebihan masyarakat
terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Sikap arogan sudah tidak masanya lagi
karena ini dapat menimbulkan sikap vis a vis antara masyarakat dengan jajaran
penyelenggara negara di daerah. Dan, kalau ini berlanjut, ia akan menimbulkan
krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah.
BAB III
PENUTUP
Bagaimana
menumbuhkan etos good governance tersebut ?Sebaiknya dimulai dari sikap
individu penyelenggara negara. Pada kutipan awal tulisan ini saya kutipkan
pidato pertama Abu Bakar Siddig ketika ia pertama menjadi kalifah. Ini adalah
bukti bahwa ia memulai pelaksanaan pemerintahan yang baik dan bersih dari diri
sendiri.
Terakhir, pemerintah
di sini tidak hanya diterjemahkan sebagai eksekutif saja.Tetapi harus dilihat
dalam pengertian yang lebih luas yaitu semua pihak yang memperoleh amanah dari
rakyat seperti legislatif, yudikatif, dan bahkan termasuk kalangan pengajar di
perguruan tinggi.Singkatnya semua pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
Asian Development
Bank, (1997), Governance : Promoting Sound Development Management, ADB.
Dunn, William N.,
(1994), Public Policy Analysis, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Fendwick, John,
(1995), Managing Local Government, Chapman & Hall, London.
Hadimulyo, (2000),
Otonomi Daerah dan Good Governance, dalam Harian Republika, 4 November,
Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar