Assalamu'alaikum.. Selamat datang di blog ini. Blog yang berisi tentang materi perkuliahan dan juga materi umum pendidikan. Semoga bermanfaat. ^_^
Pages
Search
About Me
Followers
Labels
- Semester I (3)
- Semester II (4)
- Semester III (7)
- Semester IV (11)
- Semester V (1)
- Semester VI (1)
- Semester VII (2)
Sabtu, 30 Juli 2016
|
By:
Imam
Kamis, 28 Juli 2016
|
By:
Imam
Makalah Fiqih Muamalah (Jual-Beli)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah SWT.
Telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar
keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, salah
satunya adalah dengan jual beli, baik
dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Kehidupan dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat
hidup sendiri. Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan
yang lainnya, atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui,
manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun
tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam
bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan
manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai
aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli
harus dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah
untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat,
melalaikan aspek ini sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal
atau haram menurut syariat Islam.
Jual beli (al-bai’)
adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain
dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijaarah.
Allah membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara
yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib
atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya. Jika asal dari jual beli
adalah disyariatkan, sesungguhnya diantara bentuk jual ada juga yang diharamkan
dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Jual Beli
Perdagangan
atau jual-beli dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bai',
al-tijarah, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
يَرْجُونَ
تِجَارَةً لَنْ تَبُور
Mereka
mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS. Fathir : 29)
Secara bahasa,
jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (مقابلة شيء بشيء). Artinya adalah menukar sesuatu dengan
sesuatu.
Al-Imam
An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah
(مقابلة مال بمال تمليكا) yang berarti : tukar
menukar harta dengan harta secara kepemilikan.
Ibnu Qudamah
di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa jual-beli sebagai (مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا), yang artinya pertukaran
harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.
Sehingga bisa
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar
barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan
melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan".
B. Dasar
Masyru'iyah
Jual-beli
adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh berdasarkan kitabullah dan sunnah
rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Allah
telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah :
275)
Sedangkan dari
sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ اِبْنِ
عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ قَالَ:
إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ,
فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ
اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ
مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar
r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka
masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau
meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau
selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang
lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka
berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)
عَنْ رِفَاعَةَ
بْنِ رَافِعٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ؟
قَالَ: عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ
وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ - رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Rifa’ah
Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang
paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap
jual-beli yang bersih”. (HR Al-Bazzar.)
وَعَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ نَهَى
عَنْ ثَمَنِ اَلْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Abu
Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang mengambil uang penjualan
anjing, uang pelacuran dan upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)
C. Hukum Jual
Beli
Secara
asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan.
Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum
jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari
kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW.
Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW.
D. Rukun
Jual-beli
Sebuah transaksi
jual-beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya
rukun, maka jual-beli itu menjadi tidak sah hukumnya. Rukunnya ada tiga
perkara, yaitu :
·
Adanya pelaku
yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
·
Adanya akad /
transaksi
·
Adanya barang
/ jasa yang diperjual-belikan.
Kita bahas
satu persatu masing-masing rukun jual-beli untuk lebih dapat mendapatkan
gambaran yang jelas.
1. Adanya
Penjual dan Pembeli
Penjual dan
pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk
boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang
harus berakal dan baligh.
Dengan rukun
ini maka jual-beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau
pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka
termasuk orang yang kurang akalnya (idiot). Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil
yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah
benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan
orang tuanya atau orang dewasa, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil
hukumnya sah.
Sebagaimana
dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan
sebagai penentu jual-beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk
membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya
yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah
utusan atau suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan
pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu
seperti : Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu
pembeli menjawab,"Aku terima".
Sebagian ulama
mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila
barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun ulama
lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan
pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya
Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang
ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama
menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat
tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah,
maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang
diperjualbelikan harus benda yang suci dalam arti bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara
benda najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi,
khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan lainnya.
Dasarnya
adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Dari Jabir
Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada
tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras,
bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
Bank Darah
Darah yang
dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-beli.
Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang
mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan
penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada
pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya
untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan
juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak
terjadi jual-beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga
dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak
boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani
untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli
kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli.
Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan,
pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan,
sehingga tidak termasuk jual-beli.
b. Punya
Manfaat
Yang dimaksud
adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya,
barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau
merugikan manusia.
Oleh karena
itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak
memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan
singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga
mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat
yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik.
Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka
jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda
yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan
alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.[1]
c. Dimiliki
Oleh Penjualnya
Tidak sah
berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut
menjadi wali (al-wilayah) atau wakil. Yang dimaksud
menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang
anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan
transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang
dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik
barang untuk menjualkannya kepada pihak lain. Dalam prakteknya, makelar bisa
termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara
konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya
adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun
transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil,
karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual
barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Tidak sah
sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak
sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk
membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang
memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits
hasan)
Walau pun
banyak yang mengkritik bahwa periwayaytan hadits ini lemah, namun Imam
An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga
derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam pendapat
qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan
pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan
pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik
asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak
setuju, maka jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju,
maka jual-beli itu sudah dianggap sah.
Dalilnya
adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra
berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk
beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah
satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan
seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun
bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d. Bisa
Diserahkan
Menjual unta
yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih
bisa ditemukan atau tidak.
Demikian juga
tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa
diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum.
Demikian juga
ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali
setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.
Para ahli
fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari
pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang
tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah
kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi
kualitasnya.
Dari segi
kualitasnya, barang itu harus dilihat -meski hanya sample- oleh penjual dan
pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam
karung.
Dari segi
kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau
volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam
jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik
dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor,
disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan
kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern
dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak
dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan
dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat
jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa
dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya :
·
Dengan membuat
daftar spesifikasi barang secara :
tertera di
brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran,
berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
·
Dengan membuka
bungkus contoh :
barang yang
bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
·
Garansi yang
memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Jual beli
merupakan salah satu ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah yaitu “ijab-qabul”,
taradli, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, tidak ada
penipuan, pemalsuan, penimbunan dan lain sebagainya yang bersumber dari indera
manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan manusia.
Sesuatu hal yang sering kita lupakan
menjadi hal yang dapat merusaknilai amalan yang kita lakukan jual beli, jadi
hal upaya tentang penulisan ini dilakukan
untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli,
rukun dan syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli. Agar
terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan
islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Untukitu penulis
menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatanyang bersifat
kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untukmensejahterakan kehidupan rakyat
terutama dalam bidangperekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial,
jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli
islam ini sudahdapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.Dr.Abdullah al Mushlih,Prof
Dr.Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.
2. Prof. DR. Rachmat Syafei, MA, Fiqih
Muamalah, Bandung: Pustaka Setia 2001.
3. H. Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010
4. Departemen Agama RI, Al-hidayah
Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, Banten, Kalim, 2012
Langganan:
Postingan (Atom)
Blog Archive
-
▼
2016
(26)
-
▼
Juli
(25)
- [PPT] Belajar dan Pembelajaran (Prinsip-Prinsip Be...
- [PPT] Unsur-Unsur Karya Tulis Ilmiah
- [PPT] Strategi Penulisan Karya Tulis Ilmiah
- Makalah Fiqih Muamalah (Jual-Beli)
- PowerPoint Konsep Dasar Karya Tulis Ilmiah
- PowerPoint Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ...
- Makalah Tafsir Tarbawi II (Tujuan Pendidikan berda...
- Makalah Tafsir Tarbawi II (Klasifikasi Ilmu menuru...
- Makalah Administrasi Pendidikan (Administrasi Kemi...
- PowerPoint Dasar Pendidikan (Pendidikan Masa Depan)
- PowerPoint Dasar Pendidikan (Pendidik dan Peserta ...
- PowerPoint Administrasi Tata Kelola dalam Pendidikan
- PowerPoint Filsafat Pendidikan Islam (Hubungan ant...
- Makalah Filsafat Pendidikan (Hakikat Pendidikan Is...
- Makalah Tafsir Tarbawi II (Fitrah Manusia)
- Makalah Hadits Tarbawi II (Hakikat Pendidikan)
- Makalah Hadits Tarbawi II (Kepedulian Sosial)
- Makalah PKN (Clean and Good Governance)
- PowerPoint Sejarah Peradaban Islam (Dinasti Bani U...
- PowerPoint Sejarah Peradaban Islam (Kisah Para Sah...
- Psikologi Perkembangan (Tahap-tahap Perkembangan)
- Makalah Hadits Tarbawi I (Pendidikan Keluarga)
- Makalah Ilmu Kalam
- Makalah Ushul Fiqh (Qiyas)
- Makalah Ulumul Qur'an (AsbabunNuzul)
-
▼
Juli
(25)
Popular posts
Total Pengunjung
Translate
Imam Safrudin. Diberdayakan oleh Blogger.