Kamis, 28 Juli 2016 | By: Imam

Makalah Tafsir Tarbawi II (Tujuan Pendidikan berdasarka Q.S. Al-Fath: 29 dan Q.S. An-Nisa: 9)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pendidikan selalu berhubungan dengan terwujudnya keserasian hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semakin tinggi keserasian hubungan tersebut, maka semakin dekat pula terwujudnya tujuan pendidikan nasional yakni : “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut maka peran pendidikan sangat menentukan, terutama dalam pembentukan sikap mental yang positif sangat dibutuhkan dalam rangka proses alih generasi.
Dalam pandangan Ali Ashaf yang menguntip dalam lampiran dari Rekomendasi Umum Konferensi Pendidikan Muslim Pertama menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah : Mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, fisik ilmiah, bahasa baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek ini kearah kebaikan dan mencapai kesempurnaan

1.2.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah :
a.    Apa Tujuan Pendidikan Berdasarkan Q.S. Al-Fath ayat 29 ?
b.    Apa Tujuan Pendidikan Berdasarkan Q.S. An-Nisa ayat 9 ?

1.3.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
a.    Mengetahui Tujuan Pendidikan berdasarkan Q.S. Al-Fath ayat 29
b.    Mengetahui Tujuan Pendidikan berdasarkan Q.S. An-Nisa ayat 9

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Tujuan Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an Surah Al-Fath : 29
2.1.1.      Al-Qur’an Surah Al-Fath : 29 dan Terjemahnya





 Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam lnjil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan menegakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
2.1.2.  Tafsir Q.S. Al-Fath : 29
Menurut al-Hâkim dan lain-lain dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwân bin al-Hakam, surat al-Fath ini mulai dari awal hingga akhir diturunkan antara Makkah dan Madinah dalam konteks perjanjian damai Hudaibiyyah. Perjanjian ini kelak mengantarkan penaklukan kota Makkah dan tampilnya negara Islam sebagai adidaya baru di Jazirah Arab.
Agar dapat dipahami konteksnya, ayat ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya, yang dalam istilah ‘Ulûm al-Qur’ân disebut Munâsabât bayn al-âyah, yaitu  ayat 28 yang Artinya :
“Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa kebenaran dan agama yang haq untuk memenangkannya atas agama-agama yang ada seluruhnya. Cukuplah Allah sebagai saksinya.” (Q.S. Al-Fath : 28).
Dari sinilah frasa Muhammad[un] Rasûlullâh (Muhammad Rasulullah) dapat  dipahami kedudukannya sebagai kalimat penjelas (jumlah mubayyinah) terhadap Rasul yang diutus oleh Allah dengan membawa hidayah dan agama yang haqq. Mengenai kata Muhammad[un] dalam ayat di atas, sebagian ulama tafsir mempunyai dua pandangan. Ada yang menyatakannya sebagai subyek (mubtada’), dengan kata  Rasûlullâh merupakan predikat (khabar), ada juga yang menyatakan, bahwa kata Muhammad[un] adalah subyek (mubtada’), Rasûlullâh adalah sifat subyek, sedangkan predikatnya adalah asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika kita memilih pendapat yang pertama,  konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah. Sebaliknya, jika pendapat kedua yang dipilih, konotasinya: Muhammad, Rasulullah.
Sementara itu, frasa walladzîna ma‘ah[u] (dan orang-orang yang bersamanya), dengan diawali huruf waw di depannya, ada yang menyatakan sebagai subyek kedua setelah subyek pertama, yaitu: Muhammad[un]; kemudian frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr—menurut pendapat ini—kedudukannya sebagai predikat kedua setelah predikat pertama, yakni kata Rasûlullâh. Namun, ada juga yang menyatakan, bahwa frasa walladzîna ma’ah[u] adalah ma‘thûf ‘alayh (frasa yang dihubungkan) dengan Muhammad[un] sehingga subyek dan predikatnya hanya satu, masing-masing adalah Muhammad[un] dan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika dipilih alternatif pertama, konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka. Jika pilihan kedua yang diambil, konotasinya: Muhammad, utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka.
Inilah hasil pembacaan terhadap struktur lafal yang berbeda dan implikasinya terhadap makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Hanya saja, perbedaan tersebut tidak membawa implikasi yang serius terhadap makna ayat di atas secara keseluruhan. Di sisi lain, as-Suyûthi, menjelaskan bahwa dinyatakannya: asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras terhadap orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), menunjukkan keunikan sifat Rasulullah dan para sahabat, yang memadukan ketegasan dan kekerasan (terhadap orang kafir) dengan kasih-sayang (terhadap sesama Muslim).
Seandainya hanya dinyatakan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras terhadap orang-orang kafir), tentu akan menimbulkan persepsi, seakan-akan mereka adalah orang-orang yang kasar. Karena itu, dengan dinyatakan, ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), kesan tersebut hilang.
Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui makna yang terkandung dari ayat diatas sebagai berikut:
1.      Mewujudkan rasa hormat dan rasa kasih sayang sesama manusia.
2.      Mewujudkan seorang hamba yang ahli sujud dan taubat.
3.      Mewujudkan manusia yang selalu menyenangkan orang lain.

2.2.       Tujuan Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an Surah An-Nisa : 9
2.2.1.      Al-Qur’an Surah An-Nisa : 9 dan Terjemahnya


 Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

2.2.2.      Asbabunnuzul Q.S. An-Nisa : 9
Allah SWT. berfirman dalam ayat ini hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak dan ahli waris yang lemah, janganlah sampai membuat wasiat yang akan membawa mudharat da mengganggu kesejahteraan mereka yang ditinggalkan itu. Berkata Ibnu Abbas menurut Ali bin Abi Thalhah bahwa ini mengenai seorang yang sudah mendekati ajalnya yang didengar oleh orang lain bahwa ia hendak membuat wasiat yang bermudharat dan akan merugikan ahli warisnya, maka Allah memerintahkan kepada yang mendengarnya itu agar menunjukkannya kepada jalan yang benar dan agar diperintahkansupaya ia bertakwa kepada Allah mengenai ahli waris yang akan ditinggalkan.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa tatkala Rasulullah SAW datang  menjenguk Saad bin Abi Waqqash yang sedang sakit, bertanyalah Saad kepadanya: “Ya Rasulullah, saya mempunyai harta dan hanya putriku satu-satunya yang akan mewarisiku, dapatkah kusedekahkan dua pertiga kekayaanku?”
Jawab Rasulullah, “Jangan.”
Dan kalau separuh, bagaimana? tanya Saad lagi.
“Jangan.”Jawab Rasulullah.
Dan kalau sepertiganya, bagaimana ya Rasulullah?” tanya Saad lagi.
Rasulullah menjawab, “Sepertiga pun masih banyak, kemudian Beliau bersabda:

اِنَّكَ اَنْ تَذَرَوَرَثَتَكَ اَغْنِيَاءَخَيْرٌمِنْ اَنْ تَذَرَهُمْ عَا لَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
“Sesunggunya lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta”.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Sepatutnya orang turun dari sepertiga ke seperempat (mengenai wasiat), karena Rasulullah telah bersabda bahwa sepertiga pun banyak”.
Berkata para ulama ahli Fiqh: “Jika ahli waris yang ditinggalkan oleh si mayat adalah orang-orang kaya, maka sebaiknya diwasiatkan penuh sepertiga, tetapi jika yang akan ditinggalkan itu orang-orang miskin, maka sebaiknya dikurangi dari sepertiga

2.2.3.      Tafsir Q.S. An-Nisa : 9
Taraku, artinya mereka hampir saja meninggalkan.
Min Khalfihim, artinya sesudah mereka meninggal dunia.
Khafu ‘Alaihim, artinya mereka khawatir anak-anaknya menjadi terlantar tersia-sia hidupnya.
Pembicaraan dalam ayat ini masih berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati, yaitu mereka yang dititipi anak-anak yatim. Juga, tentang perintah tehadap mereka agar memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik, dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan anakku, sayangku, dan sebagainya.
Dalam ayat ini yang diingatkan adalah kepada mereka yang berada di sekeliling para pemilik harta yang sedang menderita sakit. Mereka seringkali memberi aneka nasehat kepada pemilik harta yang sakit itu, agar yang sakit itu mewasiatkan kepada orang-orang tertentu sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya, sehingga akhirnya anak-anaknya sendiri terbengkalai. Kepada mereka itu ayat 9 diatas berpesan: Dan hendaklah orang-orang yang memberi aneka nasehat kepada pemilik harta agar membagikan hartanya kepada orang lain sehingga anak-anaknya sendiri terbengkalai, hendaklah mereka membanyangkan seandainya mereka akan meninggalkan di belakang mereka, yakni setelah kematian mereka, anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki harta, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka atau penganiayaan atas mereka, yakni anak-anak yang lemah itu. Jika keadaan serupa mereka alami, apakah mereka akan menerima nasehat-nasehat seperti yang merekaberikan itu? Tentu saja tidak! Kerena itu, hendaklah mereka takut kepeda Allah SWT., atau keadaan anak-anak mereka di masa depan. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah SWT. Dengan mengindahkan sekuat kemampuan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat.
Muhammad Sayyid Tanthawi berpendapat bahwa  ayat di atas ditujukan kepada semua pihak, siapapun, karena semua diperintahkan untuk berlaku adil, berucap yang benar dan tepat, dan semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan di atas.
Kandungan Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang.
Jadi, Allah SWT. memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka dikemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.

BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Pada Surat Al Fath ayat 29 ini mengandung perintah untuk mewujudkan rasa hormat dan rasa kasih sayang sesama manusia, menunjukkan bahwa seorang hamba haruslah selalu sujud dan taubat kepada Allah Swt, serta mengingatkan kepada manusia untuk selalu menyenangkan orang lain.
Surat an-Nisa’ ayat 9 ini menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak, akibat kekurangan makanan yang bergizi; merupakan tanggungjawab kedua orang tuanya, maka disinilah hukum Islam memberikan solusi dan kemurahan. yang mana untuk membantu orang-orang yang tidak menyanggupi hal-hal tersebut, agar tidak berdosa dikemudian hari, yakni apabila orang tua itu meninggalkan keturunannya, atau menelantarkannya, akibat desakan-desakan yang menimbulkan kekhawatiran mereka terhadap kesejahteraannya.
Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Soenarjo. 2003. Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Departemen Agama RI.
M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir Al – Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al – Qur’an, Jakarta : Lentera Hati.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi. 1993. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Al-Syeikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq. Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir. 2003. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

0 komentar:

Posting Komentar